Sabtu, 11 Juni 2011

TEMAN KHAYALAN..??? punya sih...


Apakah buah hati Anda sering berbicara sendiri atau seolah seperti memiliki teman khayalan saat sedang beraktivitas? Jangan terburu-buru berprasangka mistik atau menganggapnya memiliki indera keenam.

Berdasar tahapan tumbuh kembang anak, kondisi itu wajar dialami anak saat memasuki usia 3-4 tahun. Yang perlu dikhawatirkan adalah ketika kondisi ini berlanjut hingga usia lebih dari itu. Ada kemungkinan anak Anda menderita autis.

“Ini bisa menjadi gejala awal autis,” kata Pemerhati dan juga Psikiater Anak, Dr Kresno Mulyadi dalam acara Journalist Class Pfizer, di Wisma GKBI, Jakarta.

Kresno menambahkan, meski masa-masa bergaul dengan teman imajiner termasuk normal hingga usia empat tahun, namun sebaiknya orangtua tak membiarkan si kecil menikmatinya. Cobalah mengajaknya melakukan aktivitas positif lainnya sehingga konsentrasinya pada teman imajiner beralih. Misalnya, segera ajak ngobrol saat anak sedang asyik dengan teman imajinernya.

Mengalihkan perhatiannya adalah cara yang pas untuk mencegah kondisi itu berlanjut. “Jangan biarkan anak terus menikmati kesendiriannya. Patut diwaspadai jika kondisi berlanjut dan segera lakukan konsultasi kepada psikiater untuk segera mendiagnosisnya,” katanya.

Menurutnya, rata-rata anak autis memiliki daya imajinasi yang tinggi, termasuk berbicara sendiri dengan teman imajiner. Melakukan terapi dini untuk mencegah autis dari gejala awal seperti ini adalah langkah yang tepat. Kresno pun meyakini dengan terapi sedini mungkin bisa menyembuhkannya dari gangguan seperti ini.

Autis bukan hanya penyakit yang terjadi akibat gen, namun bisa juga terjadi akibat makanan yang terkontaminasi. “Jadi perlu waspada jika gejala seperti cuek dan sibuk dengan dunianya sendiri, jangan dibiarkan berlangsung lama. Jangan sampai kebiasaan itu masih melekat di usianya yang semakin dewasa, karena penanganannya akan semakin sulit,” katanya.

Anak-anak memang memiliki kemampuan imajinasi yang tinggi. Terkadang hal tersebut dapat mempengaruhi prilakunya secara berlebihan. Salah satu bentuk dari daya imajinasi anak yang sering ditemui adalah teman khayalan. Bagi anak balita, teman tersebut bisa jadi sangat nyata sama dengan dirinya.

Laura Davis dan Janis Keyser dalam buku Becoming the Parent You Want to Be: A Sourcebook of Strategies for the First Five Years mengatakan, teman khayalan biasa dialami oleh anak usia 3-6 tahun.

Teman khayalan itu sangat nyata sehingga terkadang harus mendapatkan tempat makan di meja, menggunakan sabuk pengaman di mobil dan diberikan kesempatan untuk berbicara pada pertemuan keluarga yang sama dengannya.

“Biasanya teman khayalan ini memiliki nama yang diciptakannya sendiri. Nama tersebut bisa diambil dari nama yang familiar. Teman khayalan mungkin saja dialami anak-anak untuk beberapa waktu,” terang Laura.

Terkadang teman khayalan pada anak, dapat bertindak sebagai orang yang disalahkan atau alter ego. Bisa juga anak menyalahkan temannya itu atas mainan yang hilang atau ketika dia mengatakan kata-kata yang dilarang.

“Yang perlu diingat, terkadang teman khayalan merupakan teman bermain yang menyenangkan,” tegas Laura.

Penelitian yang dilakukan oleh Marjorie Taylor dari Fakultas Psikologi University of Oregon dan Stephanie M. Carlson dari Fakultas Psikologi University of Washington menyimpulkan, dua dari tiga anak usia tujuh tahun pernah memiliki setidaknya satu teman khayalan.

Ternyata teman khayalan tidak hanya muncul pada anak usia 3-4 tahun, namun juga hingga anak-anak mencapai usia sekolah.

“Ketika kami memulai penelitian ini sekitar 10 tahun yang lalu, kami memperkirakan hanya sekitar satu dari tiga anak usia prasekolah yang memiliki teman khayalan,” ujar Taylor dalam artikelnya The Characteristics and Correlates of Fantasy in School-Age Children: Imaginary Companions, Impersonation, and Social Understanding.

Awalnya, tujuan penelitian yang dilakukan Taylor dan Carlson yaitu untuk mempelajari hingga beberapa tahun kemudian, bagaimana teman khayalan tersebut mempengaruhi kehidupan sang anak.

Anak-anak mengakui bahwa beberapa teman khayalan mereka kadang-kadang juga berlaku tidak baik dan mengganggu. Bahkan, memukul mereka atau tidak mau pergi ketika anak-anak tersebut sedang membaca. Cepat atau lambat, anak-anak menyadari bahwa teman-teman khayalannya tidak nyata.

Carlson menuturkan, beberapa anak yang ikut dalam penelitian sempat mengajaknya bicara secara pribadi dan berkata “Anda tahu bahwa ini hanya pura-pura kan?”.

Clinical Assistant Professor New York University, School of Medicine Anita Gurian PhD menjelaskan, untuk para orangtua yang melihat anaknya memiliki teman khayalan untuk memperhatikan lebih lanjut. Lihat intensitas dan durasi dari hubungan anak dengan teman khayalannya.

“Orangtua harus mulai khawatir jika anak-anak menghindari interaksi dengan anak-anak lain dan lebih memilih bermain dengan teman khayalannya. Kemungkinan, anak sedang mengalami tekanan psikologis,” kata Anita.

Orangtua juga harus waspada jika anak hanya terfokus pada kehadiran teman khayalannya tersebut. Orangtua dapat meminta bantuan dari konsultan professional untuk mengetahui apakah anak memiliki ketegangan pada alam bawah sadar.

“Secara umum, seorang teman khayalan adalah sebuah tanda anak sedang berhadapan dengan hal kompleks, ketika dia sedang berusaha berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Jangan merendahkan hubungan anak dengan teman khayalan tapi jangan terlalu terlibat,” saran Anita kepada para orangtua.

Tips:

  • Jangan remehkan hubungan anak dengan teman khayalannya, tapi jangan juga terlalu terlibat. Ikuti saja skenario anak tapi tetap dengan batas-batas tertentu. Sesekali, Ada boleh mengingatkan anak teman khayalannya tidak nyata. Misalnya, dengan mengatakan “Wah, senang sekali ya pura-pura main dengan Lanni”.
  • Pandanglah kehadiran teman khayalan anak Anda dari sisi positifnya. Teman khayalan merupakan hasil dari keingintahuan dan kreativitas anak dalam usahanya mencoba menalar apa yang terjadi disekitarnya. Anak yang punya teman khayalan akan tumbuh menjadi orang yang penuh rasa ingin tahu dan kreatif.
  • Orangtua seringkali memandang bahwa anak benar-benar mempercayai kehadiran teman khayalannya. Anak-anak juga cenderung mempertahankan pendapat kehadiran temannya tersebut. Namun, pada umumnya anak-anak sebenarnya menyadari mereka sedang berpura-pura. Kenyataannya, teman khayalan akan cepat pergi menghilang ketika hadir orang asing atau teman lain yang menganggap teman khayalannya tidak nyata.
  • Biasanya anak akan segera mengatakan selamat tinggal kepada teman khayalannya jika merasa mampu untuk menghadapi sendiri ketakutan dan perasaan negatifnya.
  • Orangtua harus mulai mewaspadai anak yang lebih banyak menghabiskan waktunya setiap hari berbicara dan bermain dengan teman khayalannya. Hal itu bisa berarti adanya perasaan tidak aman pada anak. Jika perlu, konsultasi dengan ahli perkembangan anak.

Sedangkan menurut psikolog anak dan remaja dari Putik Psychology Center Balikpapan Elia Wardani MPsi, munculnya teman imajinasi atau teman khayalan merupakan suatu hal yang umum terjadi pada anak dalam suatu keluarga. Pada kebanyakan kasus, teman khayalan yang diciptakan sendiri oleh si anak ini muncul ketika mereka berusia 2,5 tahun sampai 4 tahun.

Elia mengatakan, kehadiran teman khayalan pada anak tidak selalu menunjukkan bahwa anak sedang merasa kesepian, tetapi menunjukkan pribadi anak yang imajinatif sehingga ia mampu untuk membuat teman bermain yang tidak terlihat kasat mata.

“Sebagai orangtua, kita tidak perlu merasa kuatir atau takut akan kehadiran teman khayalan anak ini. Hal ini merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada tahapan sosialisasi bagi perkembangan si anak,” ucap ibu satu putri ini. (fn/vs/rp/kp) www.suaramedia.com